Di Balik Pelukan Projo dan Gerindra
Oleh : dr.Zamir Alvi, SH,MH.Kes, Pengurus DPP Gerakan Cinta Prabowo

Iniklik.com – Di panggung politik, pelukan jarang berarti kasih sayang. Kadang ia adalah strategi, kadang pula sekadar jeda sebelum tikaman berikutnya.
Maka ketika relawan Projo — barisan setia yang dulu mengawal Jokowi dari gang-gang kecil menuju Istana — kini memilih berlabuh ke Gerindra, kita tak sedang menyaksikan cinta baru, melainkan kalkulasi lama yang disusun ulang.
Politik di Indonesia, seperti biasa, tak mengenal garis tegas antara teman dan lawan. Ia lebih mirip sungai yang mengalir mencari muara kekuasaan. Dan kali ini, muara itu bernama Prabowo Subianto.
Arah Angin yang Bergeser
Sejak Jokowi mengakhiri masa jabatannya, relawan Projo seperti kehilangan matahari. Selama satu dekade, mereka hidup dari energi karisma Jokowi — sosok sederhana yang berhasil menyalakan api harapan rakyat kecil.
Namun ketika sang patron mulai melangkah turun dari singgasana, relawan itu sadar: mereka harus mencari matahari baru sebelum gelap sepenuhnya.
Masuklah Prabowo — mantan rival yang kini jadi pewaris tahta politik Jokowi lewat pasangan simbolis Prabowo–Gibran.
Di mata Projo, langkah menuju Gerindra bukan sekadar berpindah kapal, melainkan menjaga kesinambungan pengaruh Jokowi dalam pemerintahan baru.
Di mata publik, langkah itu tampak pragmatis — tapi di politik, pragmatisme sering kali hanyalah bentuk lain dari kelangsungan hidup.
Strategi Dua Arah
Gerindra tentu menyambut dengan tangan terbuka. Masuknya Projo ke dalam lingkar partai bukan hanya tambahan tenaga, tapi juga tambahan legitimasi.
Prabowo tahu, untuk mengokohkan pemerintahannya, ia butuh dukungan moral dan simbolik dari mereka yang pernah menggerakkan rakyat.
Dengan Projo di dalam, Prabowo tak hanya mendapat mesin, tapi juga meminjam sedikit aura Jokowi — aura yang hingga kini masih menjadi mata uang paling berharga dalam politik Indonesia.
Namun di sisi lain, langkah ini mengandung paradoks. Gerindra adalah partai dengan struktur militeristik dan disiplin ideologis, sementara Projo adalah gerakan relawan yang cair, lebih terbiasa dengan politik gaya jalanan.
Keduanya bisa saling melengkapi — atau justru saling meniadakan.
Ketika relawan harus tunduk pada garis komando partai, di situlah idealisme mulai diuji.
Bayang Jokowi yang Tak Hilang
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Projo di Gerindra adalah cara lain untuk memastikan bayangan Jokowi tetap ada di balik bahu Prabowo.
Meski tak lagi berkuasa secara formal, Jokowi masih memiliki modal sosial dan jaringan politik yang terlalu besar untuk diabaikan.
Dengan Projo di tubuh Gerindra, “roh Jokowi” tetap berbisik di ruang-ruang rapat pemerintahan.
Namun, bagi Prabowo, ini pedang bermata dua. Jika terlalu memberi ruang bagi relawan Jokowi, ia bisa terlihat sekadar melanjutkan kekuasaan lama.
Tapi jika menyingkirkannya, ia berisiko kehilangan simpati publik yang masih terikat emosi dengan Jokowi. Maka ia harus menari di atas tali tipis: menjaga kesinambungan tanpa kehilangan kendali
Dilema Relawan
Projo sendiri berada dalam posisi rumit.
Selama ini mereka mendaku sebagai gerakan rakyat — bukan partai, bukan sayap kekuasaan. Kini, setelah bergabung ke Gerindra, garis pemisah itu memudar.
Relawan berubah menjadi kader, idealisme berubah menjadi strategi.
“Dari relawan jadi kekuasaan, dari penggerak jadi pengikut.” Barangkali di situlah tragedi kecil politik relawan dimulai
Gerakan yang lahir dari semangat bawah kini naik ke menara partai, membawa risiko kehilangan akar yang dulu membuatnya hidup.
Penutup: Kekuasaan yang Membelah Diri
Pada akhirnya, bergabungnya Projo ke Gerindra bukan sekadar berita politik — ia adalah cermin dari pola lama: bahwa di Indonesia, kekuasaan selalu berputar di antara orang-orang yang sama. Nama boleh berganti, bendera bisa berpindah, tapi orbitnya tetap: di sekitar pusat gravitasi kekuasaan.
Gerindra mendapat legitimasi, Projo mendapat rumah baru, Jokowi tetap punya bayang. Namun rakyat, seperti biasa, hanya menjadi penonton setia yang menebak siapa yang sebenarnya mengatur sandiwara di balik layar.
Di negeri ini, yang berpindah bukan kesetiaan, tapi perhitungan.
Dan di antara pelukan politik yang tampak mesra, kita tahu: selalu ada genggaman dingin di baliknya.