SerbaSerbi

80 Tahun Indonesia Dalam Ilusi

Oleh: dr. Zamir Alvi, SH, MH.Kes/Wakil Ketua DPP KNPI

Delapan dekade telah berlalu sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sejak saat itu, bangsa ini telah melewati berbagai fase: dari perjuangan fisik mempertahankan kedaulatan, transisi pemerintahan otoriter ke demokrasi, hingga era digital yang menjanjikan percepatan pembangunan. Namun, di tengah perayaan dan kebanggaan atas usia yang kian matang, pertanyaan mendasar patut diajukan: apakah Indonesia benar-benar merdeka, ataukah kita masih hidup dalam sebuah ilusi kemerdekaan?

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari ketimpangan, kebodohan, dan korupsi sistemik. Ironisnya, setelah 80 tahun, masalah-masalah struktural yang sama masih membayangi bangsa ini. Kesenjangan sosial semakin nyata, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan masih timpang antar daerah, dan keadilan hukum kerap berpihak pada yang kuat dan berduit. Demokrasi, yang seharusnya menjadi wadah suara rakyat, tak jarang berubah menjadi panggung elite yang bermain peran demi kepentingan sendiri.

Lebih dari itu, nasionalisme kini seringkali dibungkus retorika semu. Simbol-simbol kebangsaan dimanfaatkan sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai pemicu semangat perbaikan. Kritik terhadap negara kerap dibungkam atas nama stabilitas, padahal kritik adalah nafas dari demokrasi yang sehat. Dalam banyak kasus, rakyat diajak bangga atas capaian-capaian permukaan, tanpa pernah diajak berpikir kritis tentang akar persoalan yang tak kunjung selesai.

Ilusi lain yang membelenggu adalah glorifikasi masa lalu dan pencitraan masa depan yang tak realistis. Kita terlalu sibuk mengagungkan tokoh-tokoh sejarah tanpa benar-benar mewarisi semangat perjuangan mereka: keberanian untuk berkata benar dan bertindak adil. Di sisi lain, janji-janji pembangunan sering kali menjadi narasi kosong yang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat.

Namun, harapan belum sirna. Ilusi hanya bisa dipatahkan jika kita berani membuka mata dan mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kemerdekaan harus dimaknai ulang—bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai proses berkelanjutan menuju masyarakat yang adil, sejahtera, dan berpikiran merdeka.

Delapan puluh tahun seharusnya menjadi waktu yang cukup untuk belajar dari masa lalu dan bersikap jujur terhadap diri sendiri. Indonesia yang merdeka bukan sekadar slogan atau seremoni tahunan. Ia harus hadir dalam keseharian rakyatnya: dalam kebijakan yang berpihak, keadilan yang merata, dan ruang kebebasan yang dijaga.

Jika tidak, maka 80 tahun Indonesia bukanlah perjalanan menuju kemajuan, melainkan sekadar hidup dalam ilusi panjang yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh: dr. Zamir Alvi, SH, MH.Kes/Wakil Ketua DPP KNPI

Berita terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button