Tegas, Aktivis Minta Pemerintah Cabut Izin Prima Lazuardi Nusantara
OKU, Iniklik.com_ Sejumlah aktivis terus menyuarakan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Prima Lazuardi Nusantara yang beroperasi di wilayah Kabupaten OKU. Sebab, selain kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, perusahaan itu diketahui bertahun-tahun tidak beroperasi. Sementara lokasi galian dibiarkan terbengkalai.
Pembiaran tersebut yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan. Pantauan di lokasi, tambang perusahaan tersebut berada di Desa Terusan dan Desa Batu Kuning, Kecamatan Baturaja Timur. Akses masuk menuju lokasi tambang tersebut harus melalui jalan tanah dan berlumpur.
Saat tiba di lokasi, tampak areal tambang sudah dikupas sebagian. Beberapa bahkan menyisakan kolam void yang sudah terisi air. Areal tambang yang berbatasan dengan pemukiman juga ditutupi dengan seng.
Menurut keterangan sejumlah warga, lokasi tambang itu sudah terbengkalai beberapa tahun terakhir.
“Saya sudah tinggal di sini lima tahun. Tapi belum pernah melihat aktivitas di tambang itu. Kalau informasinya, sebelum saya tinggal di sini memang sudah tidak ada kegiatan lagi disana,” kata Neneng, warga yang tinggal di dekat seng perbatasan tambang.
Neneng mengatakan, beberapa kali informasinya perusahaan mau menutup lubang galian di areal itu. Namun, sampai sekarang tidak ada progres berarti dari rencana tersebut. “Katanya memang mau ditutup (lubang void). Tetapi, sampai sekarang tidak ada realisasi,” ucapnya.
Walaupun sejauh ini tidak ada dampak dari keberadaan lubang galian itu, namun Neneng khawatir jika nantinya akan terjadi longsor atau dampak lingkungan lain yang bisa mengancam keselamatan warga.
“Kalau sejauh ini belum ada dampaknya. Tapi kita tidak tahu kedepannya,” terangnya.
Aktivis Heran IUP Prima Lazuardi Nusantara Belum Dicabut
Sejumlah aktivis mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menegakkan good mining practice dalam usaha pertambangan di Indonesia, khususnya Sumsel. Sebab, masih banyak tambang seperti Prima Lazuardi Nusantara yang tidak beroperasi namun izinnya tak dicabut.
Ketua Himpunan Pemuda Intelektual (HIPI) Kabupaten OKU, Zaidan Jauhari mengatakan, dirinya cukup terkejut mengenai pernyataan pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) OKU yang menyebut jika Prima Lazuardi Nusantara sudah lama vakum atau tidak beraktifitas selama beberapa tahun.
“Kita juga heran kalau selama ini tidak ada aktifitas. Seharusnya kan izinnya dicabut saja. Sehingga, lahan galian di areal tambang bisa direklamasi,” kata Zaidan saat dibincangi, Selasa (30/1/2024).
Dia mengatakan, pencabutan IUP seharusnya sudah bisa dilakukan. Terlebih, sudah lima tahun terakhir tambang tidak beroperasi. “Harusnya segera dievaluasi. Kalau memang perusahaan tidak mampu untuk menjalankan aktifitas penambangan, lebih baik dilelang ke perusahaan lain untuk diurus,” katanya.
Permasalahannya, kata Zaidan, kegiatan penambangan di areal IUP sudah kadung dilakukan. Sehingga jika dibiarkan terlalu lama, bisa berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Dia mencontohkan, kondisi infrastruktur pengelolaan limbah seperti kolam IPAL. Jika dibiarkan terlalu lama, maka limbah yang ditimbulkan dari areal tambang tidak bisa tersaring dan langsung masuk ke sungai.
“Nah, hal seperti inilah yang harusnya diperhatikan. Kalau memang tidak lagi beraktifitas, segera lakukan reklamasi. jangan dibiarkan terlalu lama hingga akhirnya merusak lingkungan,” ucapnya.
Zaidan meminta agar pemerintah bisa bertindak tegas dengan mencabut izin perusahaan tersebut. “Kalau memang tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, kami akan segera menggelar aksi,” tegasnya.
Senada, Direktur Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin tambang di Sumsel yang tidak melakukan kegiatan eksplorasi. Dia menuturkan, tambang-tambang yang vakum tersebut menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak, royalti maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
“Buat apa memberikan izin kepada investor yang tidak serius. Lebih baik izinnya dicabut saja. Selanjutnya dilelang untuk dikelola perusahaan yang lebih baik. Baik yang dimaksud ini dari sisi keuangan maupun komitmennya untuk menciptakan good mining practice,” terangnya.
Sementara itu, KTT PT Prima Lazuardi Nusantara, Bresli saat dihubungi wartawan belum memberikan jawaban terkait persoalan tersebut.
PT Prima Lazuardi Nusantara merupakan perusahaan tambang yang memiliki IUP 89/K/P-IUP/XXVII/2014. Luas areal operasi perusahaan ini seluas 3.710 hektare. Dalam penelusuran di https://modi.esdm.go.id/, perusahaan ini dimiliki oleh Lion Power Energy dengan kepemilikan saham sebesar 99,9 persen dan Kokos Leo Lim sebesar 0,01 persen.
Perusahaan ini dipimpin Direktur, Ivan Wiratiana dan Komisaris Andrey Permana. Kokos Leo Lim alias Kokos Jiang sendiri merupakan koruptor yang merugikan negara sebesar Rp 477 miliar. Kokos melakukan serangkaian perbuatan yaitu tidak melakukan desk study dan kajian teknis, melakukan pengikatan kerja sama jual-beli batu bara yang masih berupa cadangan serta membuat kerja sama tidak sesuai spesifikasi batu bara yang ditawarkan.
Selain track record pemilik perusahaan yang pernah melakukan korupsi sektor pertambangan, operasional perusahaan itu sendiri pernah mendapat sanksi administratif dari DLHP Provinsi Sumsel. Surat keputusan penerapan sanksi administratif paksaan tersebut bernomor 0687/KPTS/DLHP/B.IV/2021 yang dikeluarkan November 2021.
Dalam sanksi disebutkan, Prima Lazuardi Nusantara tidak melakukan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam dokumen lingkungan hidup AMDAL (ANDAL,RKL/RPL,Matrik). Perusahaan juga tidak melakukan perubahan dokumen lingkungan sesuai dengan penambahan kapasitas produksi, perluasan lahan dan/atau kegiatan, terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan terjadi perubahan dampak dan/atau resiko terhadap lengkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis resiko lingkungan hidup.
Tidak melakukan perencanaan penambangan good mining practice sehingga terhadi penambangan diluar IUP yang dilakukan entitas lain dengan total seluas 9,78 hektar.
Perusahaan juga tidak melakukan pengelolaan pengendalian pencemaran air berupa IPAL Domestik yang tidak memiliki izin, tidak memiliki flowchart neraca air di area bekas tambang pada pit aktif, dimana catchment area dialirkan ke beberapa areal bekas tambang tersebut. Tidak ada kegiatan pengukuran kualitas air limbah domestik pada Semester 1 Tahun 2021, tidak melakukan pemantauan debit harian dan debit rata-rata bulanan.
Tidak melakukan pengukuran beban pencemaran air limbah yang wajib memenuhi baku mutu pada setiap parameter air limbah domestik dan melaporkannya pada aplikasi SIMPEL. Tidak melakukan pemantauan parameter pH dan debit air harian limbah domestik serta air permukaan di Hulu dan Hilir Sungai Air Kurup 3.
Tidak membuat saluran air limbah yang kedap air, mengukur debit harian dan PH Ai untuk air limbah proses KPL, air limbah domestik serta menghitung beban pencemaran.
Perusahaan juga tidak melakukan pengendalian pencemaran udara seperti tidak melakukan pemantauan dengan parameter HC dan dustfall, pemantauan udara emisi cerobong genset dab belum membuat serta melaporkan hasil pemantauan sumber emisi kepada DLH OKU, DLHP Sumsel dan KLHK melalui Aplikasi SIMPEL.
Perusahaan tidak melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun seperti tidak melakukan penyimpanan B3 pada gudang penyimpanan bahan di areal workshop, gudang tidak dilengkapi APAR, pengemasan bahan kimia tidak sesuai dengan fase serta karakteristik jenis B3 serta kemasan B3 tidak dilengkapi dengan simbol dan label.
Selain itu, perusahaan tidak melakukan pengendalian kerusakan lingkungan berupa pembersihan pada lahan yang terjadi indikasi erosi berupa alur dan parit sedimentasi, meninggalkan setiap tahapan pengupasan tanah pucuk terlalu lama, meninggalkan setiap tahapan pengupasan batuan penutup terlalu lama, penambangan dan penimbunan yang tidak berkesinambungan sehingga hampir seluruh KPL mengalami pendangkalan.
Sanksi itu juga yang membuat perusahaan mendapatkan predikat Proper Merah dari KLHK di tahun 2022. (Red)