NasionalSerbaSerbi

Seni di Bawah Langit Gaza

Ketika Teater Menjadi Ruang Kesaksian

JAKARTA, Inilink.com – Gudskul, Jagakarsa. Ahad siang, akhir November. Ruangan putih dengan lantai semen itu dipenuhi mikrofon, kamera, dan tatapan yang tidak buru-buru. Di ujung meja, empat nama yang biasa kita temui di layar kaca duduk berdampingan—David Chalik, Bella Fawzi, Robert Chaniago, dan Cholidi Asadil Alam. Tapi kali ini mereka tidak membicarakan rating sinetron atau jadwal syuting. Mereka membicarakan Gaza.

Konferensi pers Palestine Festival terasa lebih mirip pembacaan naskah awal: tenang, padat, dan penuh kalimat yang dilontarkan dari tempat terdalam. Acara ini—yang akan berpuncak pada 28 Desember di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta—bukan sekadar festival. Ia berniat menjadi panggung memori.

Tema tahun ini: “Never-Ending Resilience for Humanity.” Kalimat bercorak manifesto itu terdengar seperti judul naskah teater, tapi ia lahir dari sesuatu yang lebih gelap: dua tahun genosida di Gaza.

Maryam Rachmayani, Direktur Utama Adara Relief International, berbicara seperti sutradara yang memperkenalkan latar ceritanya.

Poster “Di Balik Langit GAZA” (Sumber : Panpel)
Poster “Di Balik Langit GAZA” (Sumber : Panpel)

“Palestina adalah bangsa yang tangguh,” ucapnya. Kata-katanya datar, tapi di baliknya ada jeda yang berat. “Mereka mempertahankan tanah airnya. Karena itu festival ini mengangkat keteguhan yang tidak pernah selesai.”

Maryam tahu, tragedi tidak bisa disampaikan hanya dengan data. Teater adalah ruang bagi luka untuk bicara pelan-pelan. Karena itu tahun ini Palfest menghadirkan “Di Balik Langit Gaza,” pementasan yang mencoba membuka pintu kecil ke sebuah rumah keluarga Palestina yang masih berdiri—atau tinggal puingnya.

Aktor datang dengan cerita masing-masing. Bella Fawzi tampak seperti baru selesai membaca surat panjang dari seseorang yang tidak dikenal.

“Kalau kita ingin melihat kualitas manusia, lihatlah ketahanan rakyat Gaza,” katanya. Ia tidak menggunakan istilah teater, tidak bicara soal karakter, blocking, atau motivasi aktor. Yang ia bicarakan justru suara yang tidak terdengar.

“Lewat teater ini, aku ingin mewakili suara mereka yang dibungkam.”

Ada jeda. Lalu ruangan menjadi sedikit sunyi. Itu jenis kalimat yang biasanya tidak ditulis di poster promosi—tapi bisa menggetarkan panggung.

Konferensi pers Palestine Festival yang diselenggarakan di Gudskul, Jagakarsa, pada Ahad [30/11] sebagai rangkaian menuju event kemanusiaan akhir tahun 2025. Acara ini memperkenalkan teater bertema keteguhan rakyat Gaza dalam menghadapi genosida. Konferensi pers turut dihadiri para pemain teater: David Chalik, Bella Fawzi, Robert Chaniago, dan Cholidi Asadil Alam.

Sosok Lawe—nama panggung Adipatilawe—menjadi motor estetik pertunjukan ini. Ia dikenal di lingkaran teater Indonesia sebagai sutradara yang tidak tertarik pada efek berlebihan. Baginya, detail kecil bisa menjadi dentuman.

“Pentas ini lahir dari keteguhan sebuah keluarga,” ujarnya. Ia tidak menyebutkan nama kota, tidak bicara tank atau drone. Yang ia sebut hanya: keluarga. “Kami ingin menghadirkan bukan hanya kisah, tapi makna dan rasa.”

Kalimat itu terdengar seperti catatan sutradara di margin naskah.

Rasa: itulah kata kunci. Teater adalah cara mengingat perang tanpa memperlihatkan perang. Menghadirkan luka tanpa memperlihatkan darah.

Cholidi Asadil Alam, yang pernah terkenal lewat “Ketika Cinta Bertasbih,” mengakui karakter yang ia mainkan di sini terasa asing baginya. Lebih liar, lebih rapuh, lebih tidak aman.

“Saya rasa kita semua bisa belajar dari cara Adara mengangkat isu Palestina,” ujarnya. Ada kesan bahwa para aktor di panggung nanti bukan sedang “bermain,” tetapi sedang mencoba bertahan di ruang batin orang lain.

Selain teater, Palestine Festival juga membawa pameran seni. Instalasi tematik, artefak budaya, dan karya visual mengenai Palestina akan memenuhi hall TIM. “Palestina bukan hanya tentang perang,” kata Iffa Abida, Ketua Pelaksana acara. “Palestina memiliki akar budaya ribuan tahun.”

Dunia teater tahu: panggung tidak pernah berdiri sendiri. Ia butuh konteks. Pameran itu menjadi dramaturgi visual—penonton masuk bukan hanya dari kursi, tetapi dari mata.

Festival ini menargetkan 2.400 penonton. Angka itu tidak kebetulan: jumlah orang yang duduk, menyaksikan, dan mungkin menangis bersama. Teater tidak bisa menghentikan genosida, tetapi ia bisa menyimpan ingatan.

Palfest memang tidak menjanjikan hiburan. Ia menjanjikan kehadiran. Hadir untuk sebuah suara yang jarang sampai. Hadir untuk sebuah kisah yang tidak pernah selesai.

Teater, kata seorang dramaturg tua, adalah satu-satunya tempat di mana kebenaran bisa disampaikan tanpa berteriak.

Pada 28 Desember nanti, lampu akan padam di Teater Besar TIM. Seseorang akan berdiri di tengah panggung. Ada jeda singkat sebelum dialog pertama diucapkan.

Dan barangkali, untuk sesaat, langit Gaza terasa dekat.

TEKS / FOTO : RELEASE   |  EDITOR  : IMRON SUPRIYADI

INFORMASI LEBIH LANJUT :

dapat dipantau melalui kanal media instagram Palestine Festival di @palfest.id dan situs resmi tiket.adararelief.com.

Berita terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button