Dokter Ratna dan Politik Menjual Keadilan: Ketika Negara Lebih Takut pada Amarah Publik daripada Kebenaran Medis
Oleh : dr. Zamir Alvi, SH, MH.Kes [ Pengurus DPP Gerakan Cinta Prabowo / Ketua IDI Kabupaten PALI - Sumatera Selatan ]

Iniklik.com – Kabupaten PALI, Sumatera Selatan – Ada kalimat yang pahit tapi harus diucapkan: Kasus dokter Ratna bukan sekadar sengketa medis, melainkan sketsa politik kesehatan Indonesia—yang dipenuhi paranoia, populisme, dan ketakutan negara menghadapi opini publik.
Kasus ini seperti panggung teater:
di depan, keluarga pasien menangis;
di belakang, aparat bergerak kaku;
sementara di panggung samping, Majelis Disiplin Profesi sibuk mengeluarkan vonis yang terasa seperti salinan dari tekanan publik, bukan hasil penalaran medis.
Dan di tengah semua hiruk-pikuk itu, satu orang berdiri sendirian:
seorang dokter yang melakukan tugasnya.
1. Ketika Negara Lebih Percaya Narasi daripada Data
Mari kita mulai dari yang paling mendasar:
Aldo sudah ditangani dokter jantung dan bukan diperiksa sekilas, tetapi ditetapkan diagnosisnya yaitu AV blok—sebuah kondisi jantung yang bisa mematikan tanpa tanda riwayat sebelumnya.
Ini bukan dongeng, ini bukan asumsi, ini hasil pemeriksaan tenaga profesional yang memiliki legal standing.Tetapi yang lebih dipercaya aparat adalah kalimat:
> “Anak kami sehat, tidak ada riwayat jantung.”
Ada ironi yang menggores:
sebuah negara modern bisa runtuh logika medisnya hanya karena satu kalimat emosional dari orang yang tidak memiliki kompetensi klinis. Jika riwayat jantung cukup dinyatakan lewat ingatan keluarga, lalu buat apa sekolah kedokteran 6 tahun? Untuk apa spesialis jantung belajar bertahun-tahun? Untuk apa EKG, USG, dan ilmu kardiologi?
Jika kebenaran medis bisa kalah oleh opini, maka Indonesia tak butuh dokter—cukup butuh saksi keluarga.
2. Ketika MDP Kehilangan Kemandirian dan Menjadi Kepanjangan Tangan Kemarahan Publik Majelis Disiplin Profesi (MDP) seharusnya berdiri di antara sains dan etika.Tetapi keputusan mereka terhadap dokter Ratna justru seperti ingin menyenangkan semua pihak—kecuali kebenaran.
Jika dokter jantung yang menegakkan diagnosis tidak dianggap bermasalah, kalau pemeriksaan EKG tidak dianggap cacat, dan jika rujukan sudah dilakukan, maka bagaimana mungkin dokter layanan pertama dijadikan tersangka tunggal?
Ini seperti:
Menyalahkan pilot pesawat kecil yang membawa penumpang luka, sementara menara pengawas yang memberi instruksi dianggap tak bersalah, dan penumpang yang menolak instruksi keselamatan malah dianggap benar.
MDP tampak seperti ingin mengatakan:
> “Ada yang harus disalahkan, dan kami memilih yang paling mudah.”
Ini bukan independensi profesi. Ini kompromi. Dan kompromi seperti ini berbahaya—sebab ia memberi sinyal bahwa dokter bisa dihukum karena sistem yang rusak.
3. Ketika Hukum Dipakai sebagai Alat Populisme
Dalam banyak kasus serupa, aparat hukum bergerak berdasarkan tekanan sosial.
Dan itulah yang terjadi, daripada menghadapi kemarahan keluarga, daripada menghadapi gejolak masyarakat lokal, daripada memperbaiki sistem kesehatan yang bocor, lebih mudah memenjarakan satu dokter.
Ini pola klasik populisme hukum, dimana cukup ambil kasus paling emosional, dan cari figur yang paling mudah disalahkan, lalu Tangkap, maka Legitimasi negara aman serta Kemarahan publik reda.
Sementara itu:
– ketidakmampuan fasilitas kesehatan tetap,
– lambannya rujukan tetap,
– buruknya manajemen rumah sakit tetap,
– miskinnya infrastruktur kesehatan tetap.
bYang berubah hanya satu hal:
ada dokter yang dikorbankan agar negara terlihat tegas.
4. Ketika Dokter Mulai Menjadi Profesi yang Dibenci—Namun Tetap Diandalkan
Ada ironi lain yang lebih kelam.
Di satu sisi masyarakat menuntut dokter bekerja cepat, tepat, dan tanpa salah.
Di sisi lain, ketika tragedi terjadi—karena faktor yang sering bukan kesalahan medis—dokterlah yang ditarik ke ruang sidang.
Dan negara tampak membiarkan ini terjadi, dimana Dokter seperti harus selalu:
– tidak boleh terlambat,
– tidak boleh salah interpretasi,
– tidak boleh mengambil tindakan yang tidak disukai keluarga,
– tidak boleh membuat diagnosis yang tidak sesuai harapan pasien,
– dan tidak boleh punya keterbatasan fasilitas.
Tetapi negara sendiri memperlakukan fasilitas kesehatan seperti pos ronda yang diperbaiki seadanya.
– Ketika dokter mengambil keputusan cepat, ia dianggap gegabah.
– Ketika dokter mengambil keputusan hati-hati, ia dianggap lambat.
– Ketika dokter jujur menyatakan risiko, ia dianggap menakut-nakuti.
– Ketika dokter jujur menyatakan kemungkinan penyakit, ia dianggap menuduh.
Dalam kasus Aldo, dokter jantung sudah bicara.Tetapi keluarga tak percaya. Dan negara memilih percaya keluarga. Ini bukan lagi ironi, melainkan ini tragedi nasional.
5. Akar Politiknya: Negara Takut Menanggung Kesalahan Sistem
Mari kita berbicara gamblang.
Kasus seperti ini rawan menjadi isu politik lokal:
– Bupati ingin terlihat pro rakyat
– Kapolres ingin terlihat responsif
– DPRD ingin terlihat membela keluarga
– Birokrasi kesehatan ingin cuci tangan
– Rumah sakit ingin selamat dari gugatan
Dan dalam politik lokal Indonesia, dokter adalah korban sempurna:
– Berpendidikan
– Tidak punya massa
– Tidak punya kekuatan politik
– Tidak bisa melawan opini publik
– Tidak memiliki lingkar kekuasaan
Satu dokter ditahan = seluruh pejabat tampak bekerja. Dan beginilah kasus dokter Ratna menjadi lebih politis daripada medis.
6. Konsekuensi Nasional: Era Baru “Kriminalisasi Medis”
Jika kasus ini dibiarkan, maka kita akan memasuki babak gelap:
– Dokter akan menolak kasus sulit
– IGD akan lebih defensif
– Rujukan akan semakin lambat
– Daerah-daerah akan kehilangan tenaga medis
– Dokter spesialis enggan ke luar Jawa
– Dokter muda takut mengambil keputusan
– Keputusan medis digantikan rasa takut pada polisi
Ini bukan prediksi kelam.Ini realitas yang sudah mulai terjadi di banyak daerah. Ketika dokter merasa hukum bukan pelindung, melainkan ancaman, maka pelayanan kesehatan akan runtuh. Bukan karena dokter tidak mau bekerja, tetapi karena negara memaksa mereka bekerja dalam teror.
Penutup: Siapa yang Sebenarnya Sakit?
Jika kita jujur, penyakit terbesar dalam kasus ini bukan AV blok pada Aldo.
Penyakit itu ada pada:
– Sistem kesehatan yang compang-camping,
– Aparat hukum yang anti-sains,
– Majelis profesi yang kehilangan keberanian,
– Pejabat daerah yang mencari aman,
– Negara yang mengorbankan logika demi meredam emosi.
Dan selama penyakit itu tidak diobati, maka akan selalu ada “Ratna” berikutnya.
Hari ini Bangka.
Besok mungkin Lampung.
Lusa mungkin Makassar, Kupang, Palembang, atau Jakarta.
Tragedi ini bukan hanya milik satu dokter.
Ini adalah cermin suram dari republik yang terus mencari kambing hitam untuk menutupi kegagalan sistemiknya sendiri.