Negara Hukum yang Goyang : Dua Institusi yang Dipaksa Menunduk
Oleh: dr. Zamir Alvi, SH, MH.Kes Pengurus DPP Gerakan Cinta Prabowo

Iniklik.com – Pagi itu, halaman Istana dipenuhi kilatan kamera dan suara wartawan yang berebut mengejar sudut terbaik. Presiden baru saja mengumumkan pembentukan Tim Reformasi Polri, sebuah langkah yang digadang-gadang sebagai titik balik institusi kepolisian. Narasi resmi menyebut reformasi, transparansi, dan tata kelola baru. Ada harapan tipis yang melayang di udara — sebuah keyakinan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, negara hendak menyentuh inti persoalan Polri.
Namun sebelum matahari benar-benar naik, harapan itu digeser oleh sebuah kabar:
Polri menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus ijazah palsu.
Kabar itu jatuh seperti batu di kolam. Getarannya melampaui ruang media sosial. Publik bertanya-tanya: mengapa sekarang? Mengapa hari yang sama? Mengapa momen itu begitu presisi?
Dan sejak detik itu, reformasi Polri resmi memasuki babak pertama:
babak di mana politik membayangi setiap langkah.
Babak Pertama: Momentum yang Bersuara Lebih Keras daripada Pernyataan Resmi
Secara prosedural, Polri bisa saja beralasan bahwa penyidikan berjalan sesuai aturan. Tetapi publik tidak hidup dalam ruang kedap suara.
Ketika penetapan tersangka diumumkan tepat di hari pelantikan Tim Reformasi Polri, tafsir yang muncul bukan tentang hukum, tetapi tentang pesan dimana “Polri bukan hanya subjek yang direformasi, tetapi aktor yang punya kemampuan mengatur ritme politik.”
Dengan kata lain, Polri sedang mengingatkan negara bahwa reformasi tidak bisa dilakukan tanpa memperhitungkan tarikan internal maupun eksternal.
Tim Reformasi Polri bahkan belum rapat pertama, tetapi atmosfer politik sudah menguji keberaniannya.
Babak Kedua: Ketika Putusan MK Mengungkap Ketegangan Lama
Beberapa minggu berlalu. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan penting ” Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil”.
Putusan itu sebenarnya bukan hal baru melainkan penegasan.
Konstitusi memisahkan aparat bersenjata dari ranah sipil untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.
Namun respons politik yang muncul justru menunjukkan hal yang selama ini disembunyikan rapat-rapat:
1. Politisi mulai melontarkan tafsir alternatif.
2. Pemerintah meminta penyesuaian waktu “transisi”.
3. DPR menunggu “klarifikasi lanjutan”.
4.Polri memilih sikap datar dan tidak membantah, tidak mendukung, tetapi jelas tidak tergesa melaksanakan.
Seolah-olah putusan MK adalah teks suci yang boleh ditafsir ulang sesuai cuaca politik.
Inilah tanda paling gamblang bahwa:
negara hukum kita tidak sedang ditegakkan, melainkan sedang dinegosiasikan.
Ketika Dua Ujian Bertemu: Kisah yang Lebih Besar dari Sekadar Reformasi
Jika dua peristiwa itu diletakkan bersebelahan, tampaklah gambaran yang lebih utuh dan lebih mengkhawatirkan.
1. Polri adalah kekuatan politik, bukan sekadar institusi penegak hukum.
Pengumuman tersangka di hari reformasi bukan hanya soal kasus, tetapi kontrol momentum.
2. Pemerintah dan DPR terlihat gamang menghadapi putusan MK.
Jika hukum bisa ditunda, pelaksanaannya hanya soal persepsi politik, bukan prinsip.
3. Tim Reformasi Polri berada di persimpangan paling rumit sepanjang sejarahnya.
Mereka diminta membenahi institusi yang dalam banyak hal lebih kuat daripada mandat politik yang membentuk mereka.
4. MK sendiri kini ikut dipertanyakan kewibawaannya.
Putusan yang final tampak tidak final bagi para pemegang kekuasaan.
Ini bukan lagi soal teknis birokrasi.
Ini adalah cerita tentang negara yang ragu menegakkan batas antara kekuasaan sipil dan kekuatan bersenjata.
Dimana bagi sebagian kalangan tertentu terungkap kekhawatiran bahwa pelaksanaan putusan MK bisa:
1. mengurangi pengaruh politik tertentu,
2.memindahkan pusat kekuasaan dari Polri kembali ke kementerian sipil,
3. menimbulkan friksi internal antara perwira aktif dan mereka yang sudah terlanjur menduduki jabatan strategis di pemerintahan.
Tidak ada yang mau mengatakannya secara terbuka, tetapi atmosfernya terasa pekat:
putusan MK tidak hanya menyangkut jabatan, tetapi keseimbangan kekuasaan. Dan di situlah titik paling rawan reformasi Polri.
Penutup: Reformasi Tak Akan Menang Bila Negara Goyah pada Prinsip Sendiri
Dua ujian ini membuat momentum penetapan tersangka dan tafsir politik atas putusan MK menyelimuti reformasi Polri dalam kabut tebal.
Narasi reformasi mungkin terdengar indah.
Pernyataan pejabat mungkin tampak meyakinkan.
Tetapi fakta yang mengemuka menunjukkan bahwa:
Reformasi Polri tidak akan bergerak sejauh negara tidak berani menegakkan hukum tanpa syarat.
Sebab hukum yang ditafsir sesuai politik bukan lagi hukum.
Dan reformasi yang berjalan tanpa kepastian hukum hanyalah kosmetik di wajah sistem yang tidak mau berubah.
Selama negara belum menempatkan MK sebagai otoritas tertinggi dalam membaca konstitusi, maka apa pun yang dilakukan Tim Reformasi Polri hanya akan menjadi cerita setengah jadi narasi bagus yang tak pernah mencapai bab akhir yang kita tunggu. (Zamir)