Sumpah Pemuda di Era Gen Z: Persatuan di Tengah Layar dan Algoritma
“Persatuan hari ini tidak lagi diproklamasikan lewat pidato, tapi diuji di ruang komentar dan algoritma".Oleh : dr.Zamir Alvi, SH, MH.Kes Wakil Ketua DPP KNPI

Jejak Sumpah yang Kian Samar
Iniklik.com – Sembilan puluh tujuh tahun telah berlalu sejak para pemuda Indonesia bersumpah atas nama tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu. Di tengah penjajahan dan keterbatasan, mereka memiliki satu kekuatan yang sulit ditemukan hari ini: tekad untuk bersatu demi masa depan bersama.
Kini, generasi yang disebut Gen Z tumbuh di dunia serba digital, global, dan cepat berubah. Mereka lahir bukan di tengah peperangan fisik, melainkan di tengah perang makna. Persatuan bukan lagi tentang menyatukan pulau-pulau, melainkan menyatukan hati dan pikiran yang tercerai oleh arus informasi tanpa batas.
—
Disrupsi Identitas: Ketika Dunia Tak Lagi Punya Batas
Gen Z adalah generasi dunia — mereka menonton drama Korea, bekerja jarak jauh untuk perusahaan luar negeri, dan berkomunikasi dengan emoji lintas bahasa.
Keterbukaan ini memperluas wawasan, namun juga menimbulkan krisis identitas kebangsaan.
Pertanyaannya sederhana:
Masihkah kita merasa bangga menjadi Indonesia, ataukah identitas itu perlahan larut dalam lautan budaya global?
Di sinilah Sumpah Pemuda diuji: bukan dalam medan perang, tapi dalam kesetiaan terhadap akar di tengah kebebasan memilih sayap.
—
Ruang Digital, Ruang Disintegrasi
Media sosial adalah medan baru persatuan. Namun, ruang yang seharusnya menghubungkan justru sering memisahkan.
Polarisasi politik, ujaran kebencian, hingga perang opini telah menciptakan dinding tak kasat mata antarwarga.
Jika dulu para pemuda bersatu dengan “satu bahasa”, maka generasi kini harus belajar bersatu dengan “satu kesadaran” — bahwa di balik layar yang berbeda, kita tetap berbagi masa depan yang sama.
—
Nasionalisme yang Kritis, Bukan Seremonial
Sumpah Pemuda terlalu berharga untuk sekadar dikenang setiap 28 Oktober dengan upacara dan seragam batik.
Semangatnya menuntut aktualisasi baru — nasionalisme yang berpikir, bukan sekadar berteriak.
Menjadi nasionalis hari ini berarti mencintai negeri melalui tindakan nyata: jujur dalam bekerja, adil dalam bersikap, dan berani menegakkan kebenaran, bahkan di ruang digital.
Sumpah itu bukan hanya sejarah, melainkan cermin moral bagi generasi yang hidup di tengah kebisingan dunia maya.
—
Menemukan Kembali Makna “Satu”
“Satu tanah air” kini berarti menjaga bumi Indonesia dari kerusakan.
“Satu bangsa” berarti berdiri bersama dalam keberagaman.
Dan “satu bahasa” bukan sekadar bahasa Indonesia, melainkan bahasa kemanusiaan: empati, kejujuran, dan solidaritas.
Sumpah Pemuda bagi Gen Z bukanlah nostalgia, tapi peta moral di era globalisasi.
Di tengah algoritma yang memecah perhatian, semangat itu memanggil kita untuk kembali menyatu — bukan dengan slogan, tapi dengan tindakan nyata.
> Persatuan bukan lagi tentang berdiri di bawah satu bendera,
tapi tentang memilih tetap saling percaya di tengah dunia yang saling curiga.