Produksi Batu Bara Melonjak, Debu dan Ancaman Kesehatan Menghantui Warga Lahat
Aktivitas angkutan batu bara yang melintasi jalan umum di Kabupaten Lahat semakin meresahkan masyarakat. Polusi debu yang dihasilkan truk-truk pengangkut batu bara tidak hanya mengotori lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan warga, terutama mereka yang tinggal di kawasan Merapi Area. Peningkatan produksi perusahaan pertambangan di wilayah tersebut, seperti PT Bara Alam Utama (BAU), PT Muara Alam Sejahtera (MAS), PT Golden Great Borneo (GGB), dan PT Bumi Merapi Energi (BME), menjadi salah satu penyebab utama masalah ini.
Ketua Pemuda Hijau Sumatera Selatan, Kevin Adrian, menyoroti dampak serius dari polusi debu batu bara terhadap kesehatan masyarakat. “Warga mengeluhkan gangguan pernapasan seperti batuk, sesak napas, hingga infeksi saluran pernapasan atas. Ini sangat membahayakan, terutama bagi anak-anak dan lansia yang lebih rentan,” ujar Kevin pada Senin (16/12).
Selain perusahaan swasta, debu batu bara nyatanya juga disumbang oleh perusahaan plat merah, PTBA. Seperti diketahui, pada rencana produksi PT Bukit Asam (PTBA) yang telah disetujui dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tiga tahun semakin menambah kekhawatiran.
Dilansir, produksi PTBA mencapai 41 juta ton pada 2024, 50 juta ton pada 2025, dan 60 juta ton pada 2026. Peningkatan ini, sambung Kevin disinyalir akan memberikan dampak yang lebih luas, misalnya kemacetan yang juga menjadi persoalan lain.
“Terutama di persimpangan kereta api sepanjang Lahat-Palembang. Masalah ini sering dikeluhkan warga, yang mengharapkan pemerintah segera turun tangan untuk mencari solusi,” kata Kevin.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan, yang menyebut bahwa dampak polusi udara akibat debu batu bara tidak hanya memengaruhi kesehatan, tetapi juga merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat.
“Tanaman warga rusak, kualitas tanah dan air terganggu, rumah-rumah di pinggir jalan penuh debu. Penyiraman jalan yang dilakukan perusahaan tambang tidak efektif. Anak-anak bahkan sering menderita batuk berkepanjangan akibat paparan debu,” jelas Sahwan.
Ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas, termasuk mengalihkan rute angkutan batu bara ke jalan khusus dan memberikan sanksi berat kepada perusahaan tambang yang tidak ramah lingkungan.
Sementara itu, anggota DPRD Sumsel, Alfrenzi Panggarbesi, menyoroti pentingnya implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) No. 74 Tahun 2018 yang melarang angkutan batu bara melintasi jalan umum. “Lalu lintas kendaraan batu bara sudah sangat besar, terutama pada malam hari, sehingga menimbulkan kemacetan parah dan mengganggu aktivitas warga. Pemprov harus segera bertindak untuk menyelesaikan persoalan ini,” ujar politisi Partai Nasdem tersebut.
Menurutnya, ketegasan pemerintah dalam menertibkan aktivitas angkutan batu bara sangat diperlukan untuk mencegah konflik yang dapat muncul akibat keresahan warga. “Masyarakat bingung, ini kewenangan siapa? Provinsi atau kabupaten? Pemprov harus segera merespons keluhan ini agar keresahan warga tidak berlarut-larut,” pungkas Alfrenzi.
Sebelum ini, warga juga mengeluhkan kondisi kemacetan di Simpang Tanjung Jambu, Kabupaten Lahat. Warga mendesak pemilik jalan khusus batu bara, PT Servo Lintas Raya untuk bertanggung jawab membangun flyover atau underpas di kawasan tersebut.
Tidak hanya kemacetan, persimpangan jalan khusus batu bara dengan jalan umum tersebut disinyalir dapat mengancam nyawa.